Tapi kesan indah itu tak bertahan lama. Karena kemudian, Via yang tengah duduk di atas perahu yang mengapung di atas danau bersama ketiga teman genknya dicekam oleh nuansa hening. Bukan hening yang damai, tapi hening yang mencekam. Angin yang tadinya terasa sejuk, kini terasa mematikan. Meremangkan bulu roma. Seperti ada banyak pasang mata tak ramah yang mengawasi mereka dengan seksama. Di tengah keheningan itu, hanya detak jantung mereka yang terdengar semakin kencang.
Angin yang cukup besar menghantam perahu kecil mereka, membuatnya agak oleng dan bergoyang-goyang. Spontan Via, Ify, Shilla, dan Angel terpekik kaget sambil memegang erat pinggiran perahu yang terbuat dari kayu itu.
Kembali hening yang mencekam. Dan pada saat itulah tiba-tiba hembusan angin membisikkan suara magis yang tak terlalu jelas di telinga Via. Seperti ada sosok tansparan yang sejenak berbisik padanya. Tengkuk Via dingin menegang, tanpa sadar Via semakin keras mencengkeram tepian perahu. Tatapan matanya bersirobok dengan mata Angel yang menyiratkan ketakutan. Sepertinya itu pula yang dilihat Angel pada mata Via.
Ify yang biasanya ceplas-ceplos kini cuma bisa terdiam dengan tubuh menegang. Sementara Shilla tampak mengejang dengan gigi yang bergemeletukan, namun berusaha melontarkan sepatah kata yang sepertinya sulit diucapkan oleh bibirnya, “A, aku… aku..takut…” Takut. Sepertinya baru kali ini mereka benar-benar memahami definisi dari kata itu.
Empat sekawan itu mengunci pandangan mata mereka, tak berani mengedarkannya ke rerimbunan pepohonan. Namun kemudian, di sisi kiri perahu, pada permukaan air danau yang tenang. Sebentuk bayangan perlahan tampak menjelma…sosok lelaki muda sepantaran mereka. Via dan Angel dengan sangat perlahan melirik sekilas ke dalam danau, dan lekas mata mereka terpaku pada sosok yang tampak tercermin dari dalam sana. Ify dan Shilla menyusul kemudian, melirik sosok di dalam danau itu. Tak ada teriakan, hanya mata mereka yang kian melebar menatap sosok itu.
Dari samar hingga jelas, lelaki dalam danau itu tersenyum. Senyum yang begitu mereka kenal. Senyum yang memacu degub jantung keempat gadis itu kian kencang. Lalu…, “Tolong…!” teriakan yang menyayat hati, menyentakkan ketakutan mereka ke level tertinggi.
***
"Hah....!!!" Via terbangun dengan keringat yang mengucur. Dadanya turun naik tak beraturan. Nafasnya tersengal-sengal.
Tangan Via erat mencengkeram seprai. Matanya kini mengedari seluruh ruangan. Ruangan kamarnya. Ini bukan lagi pemandangan di sekitar danau tadi. Syukurlah...ternyata cuma mimpi, begitu Via berujar dalam hati. Perlahan nafasnya pun kembali dalam ritme yang teratur.
Bunyi ringtone handphonenya membuat Via kembali terkaget, tapi lekas menguasai diri. Sebelum mengangkat panggilan teleponnya, Via melirik jam weker di atas nakas, jarum jamnya masih menunjukkan pukul tiga dini hari. Siapa, sih, yang iseng nelepon sepagi ini? Via bergumam heran dalam hati.
"Via..., ini aku…," bisik suara yang terdengar saat Via menekan tombol jawab dan mendekatkan HP ke telinganya.
"Si-siapa..?" Ada getar dalam suara Via.
“Aku… Alvin…” jawab suara lelaki di ujung sana, masih seperti berbisik. Via merasakan jantungnya kembali berdegub kencang. Tangannya yang menempelkan HP ke telinga pun bergetar.
“Tolong, Via… TOLONG….!!!” rintihan minta tolong yang segera berubah jadi lolongan dari ujung sana, serasa menyurutkan darah Via. Tangannya yang memegang handphone melemas, turun ke samping badannya. Handphone yang kini tergeletak di atas kasur masih memperdengarkan bunyi ‘tut, tut…’, menandakan sambungan telepon yang sudah terputus. Sigap Via meraih handphonenya dan membantingnya dengan kasar. Handphonenya menabrak tembok dan hancur saat terjatuh di atas lantai.
Via kembali disergap rasa takut. Dan itu membuatnya kesal. Via paling benci merasa takut. Ingatannya kembali pada insiden dua minggu yang lalu. Kecelakaan tragis yang merenggut nyawa Alvin, cowok yang dianggap cupu oleh Via, Ify, Angel, dan Shilla yang menamakan genk mereka Dark Angel. Alvin adalah teman sekolah mereka yang seringkali menjadi objek kekesalan Dark Angel, terutama Via.
"Nggak! Gue nggak salah apa-apa! Tewasnya Alvin itu murni kecelakaan. Dan itu sama sekali bukan salah gue!" Via berusaha meyakinkan dirinya sendiri, tapi ia sendiri tidak yakin.
***
Ibu Dewi, guru bahasa Indonesia kelas X memasuki kelas X-B, kelas yang dihuni oleh Via dan teman-teman genknya.
"Hadoh...males banget gue sama pelajaran bahasa Indo! Gak penting banget! Jelas-jelas kita udah lancar ngomong pake bahasa Indonesia, eh masih kudu diajarin lagi di sekolah!" gerutu Shilla yang duduk di belakang Via.
"Gue sih bukan masalah sama pelajarannya, tapi gue nggak suka sama yang ngajarnya! Seneng banget ngasih tugas yang nggak penting!" sambung Angel ketus.
Angel duduk tepat di samping Shilla. Mereka satu meja. Sedangkan Ify duduk dengan Via. Bagi empat sekawan itu, ada saja hal yang pantas untuk mereka tidak sukai.
"Udah, deh, kalian berdua nggak usah pada menggerutu kayak gitu. Kalo nggak suka, bilang aja langsung! Apa perlu tuh guru kita kerjain?!" canda Ify yang terkenal paling bermulut besar di antara mereka. Kontan saja Angel dan Shilla tertawa cekikikan.
Tapi tidak dengan Via. Sepertinya ia sedang tak berselera untuk menanggapi gurauan teman-temanya itu. Insiden mimpi buruk yang disusul panggilan telepon yang sukses membuatnya sport jantung sudah tentu menjadikan harinya ini terasa tidak senormal biasanya.
"Ify, Shilla, Angel, kenapa kalian cekikikan seperti itu? Pelajaran belum dimulai, kalian sudah ancang-ancang untuk membuat keributan? Nggak bosen apa harus selalu ditegur?!" omel Bu Dewi yang agaknya sudah bosan dengan perilaku Dark Angel yang selalu kompak dalam membuat kesal orang lain itu.
"Ya makanya belum dimulai pelajarannya, Bu, kita masih berkicau!" sahut Ify dengan suara agak direndahkan. Tentu saja Bu Dewi tak mendengar gumaman Ify.
"Oke. Kali ini saya akan meminta kalian untuk membacakan puisi karya kalian sendiri. Karena pada pertemuan sebelumnya, saya sudah memberikan PR menulis puisi, kan? Nah, karena sepertinya tidak memungkinkan kalau kalian semua mendapat giliran membaca puisi. Jadi saya hanya memberikan kesempatan pada yang benar-benar bersedia untuk menyuguhkan penampilannya membaca puisi di depan kelas. Jadi, siapa yang bersedia?" tutur Bu Dewi membuka kelasnya pagi ini.
Bu Dewi mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelas, dan menemukan seorang siswi yang mengacungkan tangannya tinggi-tinggi. “Ya, Zahra. Silahkan maju ke depan!” Bu Dewi tersenyum santun sambil mempersilahkan seorang siswi yang sudah berani mengacungkan tangannya itu.
Zahra dengan mantap melangkah ke depan kelas, berdiri menghadap teman-teman sekelasnya. Berhenti sejenak untuk melihat naskah puisinya, dan mulai membaca puisi dengan kemantapan dalam setiap pengucapan kata-katanya…
"Malam...
Izinkan aku berkata-kata
Tentang sepasang mata bintang
Yang membuat jantungku tertikam
Tentang indahnya senyum rembulan
Yang membuat hatiku tertawan
Tentang manisnya malam hari
Yang memaksaku mengecap pahitnya sepi
Izinkan aku mengungkapkan rasa
Semua rasa tentangmu, malam…
Kamu yang tak bisa kusentuh
Meski jiwaku harus terbunuh
Oleh ribuan sembilu...
Karena aku…
Siang yang merindu malam
Karena kamu…
Malam yang tak ingin ada siang...”
Senyap.... Tapi tak lama kemudian gemuruh tepuk tangan terdengar memenuhi kelas. Tak ada yang menyadari saat mata Zahra bertemu dengan mata Via. Mereka saling menatap. Zahra dengan tatapan matanya yang tajam, menusuk hati Via. Via dengan tatapan penuh tanda tanya, seperti mencari-cari sesuatu dalam mata Zahra.
“Malam…”
Tengkuk Via dingin menegang, Via tersentak. Kini ia mendengar dengan jelas bisikan sekilas dalam mimpi buruk yang membangunkannya dini hari tadi. “Malam..” Ya, itulah yang dibisikkan suara magis itu. Tanpa sadar Via menahan nafas. Beberapa pasang mata tak ramah yang mengawasinya dari balik pepohonan yang rimbun di danau itu… Tiba-tiba menjelma jadi sepasang mata yang sama. Jantung Via berdetak kencang.
Mata itu…mata penuh iba itu.. Mata yang menjerit meminta pertolongan saat kecelakaan naas itu terjadi di depan matanya. Darah segar yang mengalir dari tubuh Alvin si Cupu yang terluka parah..
Tiba-tiba saja kepala Via memberat, tengkuknya terasa dingin. Rasa mual menyerang ulu hatinya. Ia menyesal tidak sempat menyentuh sarapannya pagi tadi. Via ambruk seketika.
***
“Kenapa, sih, keliatannya.. kamu… benci banget sama…aku, Vi?” tanya cowok cupu berkacamata minus yang berdiri sekitar satu setengah meter di hadapannya. Baru saja ia dan ketiga temannya menjadikan si Cupu, sebutan mereka untuk cowok itu, sebagai sasaran kekesalan mereka. Semangkuk kuah bakso dan segelas es teh sengaja ditumpahkan ke arah si Cupu. Seragam dan proposal kegiatan PenSi yang sudah disusun si Cupu hampir semingguan itu dan rencananya akan dibawa ke hadapan Pembina OSIS menjadi korban tumpahan itu.
“Hm.. Kenapa ya..? Mungkin karena tampang cupu lo yang bikin gue enek!” jawab Via sadis.
“A-apa…apa..hubungannya, antara fisikku dengan kebencian kamu? R-r-rasanya, i-itu…te-ter-lalu..mengada-ada…” tanya si Cupu lagi.
“Heh! Untuk benci sama orang kayak elo itu nggak perlu pake alesan, tauk?!” Kali ini Angel yang ambil suara untuk menghina.
“Tau! Udah cupu, gagap, suka senyam-senyum sendiri, masih juga PD jadi Ketua OSIS! Asal lo tau, ya, kalo elo nggak nekat nyalonin diri, udah dari awal Via yang bakalan jadi Ketua OSIS! Bukan lo, autis!” Ify memuntahkan hinaannya.
“Oh…, jadi..cuma..ka-karena..itu..aja, Vi?” tanya si Cupu yang ditujukan langsung kepada Via. Seolah tak menghiraukan tiga Dark Angle lainnya.
“Itu aja?! Heh, lo pikir enak apa dikalahin sama cowok cupu yang menang cuma karena belas kasian para guru dan murid-murid yang lain, hah?!” Shilla tak mau kalah sadis dari Dark Angel lainnya dalam menghina si Cupu.
“A-aku…aku..ikhlas, Vi, me-menyerahka-kan jabatan Ke-ketua OSIS sama ka-kamu. Ma-makanya, a-aku minta ka-kamu jadi wakil a-aku, dan…se-selalu dukung ide-ide k-kamu, Vi. K-k-karena…”
“Karena apa?! Udah, deh, nggak usah banyak omong! Pegel juga gitu loh dengerin lo ngomong!” sergah Ify ketus.
“Udah sana! Kita males liat wajah lo di sini!” usir Angel, tak lupa melemparkan tatapan judesnya.
Si Cupu pergi berlalu meninggalkan areal kantin sekolah. Tanpa amarah, malahan senyum khasnya yang dianggap menambah keculunannya itu diberikannya khusus pada Via. Padahal Via menatapnya dengan tatapan jijik yang sadis. Kebencian telah merasuk jauh ke hati Via pada si Cupu, lantaran jabatan yang sudah diidam-idamkannya malah diambil dengan begitu mudah oleh si Cupu. Sejak saat itu, kekesalan Via dan the Dark Angel tak pernah sekalipun mereda.
Hingga kecelakaan tragis menimpa si Cupu. Di jalan raya sebuah mobil angkot yang melaju dengan ugal-ugalan menabrak motor yang tengah dikendarai si Cupu sore itu, sepulangnya dari sekolah. Sialnya, tak ada satupun polisi lalu lintas yang sedang berpatroli saat itu. Sedangkan kendaraan yang lalu lalang tak ada yang sudi menepi untuk memberikan pertolongan. Para pengemudi itu terlalu takut akan terlibat masalah kalau turun untuk membantu, bisa-bisa malah mereka yang akan jadi tersangka, mungkin begitu mereka pikir. Lantaran sopir angkot, si pelakunya, sudah kabur entah ke mana.
Tubuh lelaki belia yang baru saja memasuki usia 17 tahun itu tergeletak tak berdaya, di atas rumput yang hanya berjarak satu meter dari trotoar yang telah menghantam kepalanya yang kini mengucurkan darah. Darah yang juga mengalir dari hidung dan telinganya.
Belum, pemuda itu belum mati. Karena matanya tetap terbuka. Menatap jalanan, berharap seseorang yang masih punya secuil rasa peduli akan menolongnya, membawanya ke rumah sakit terdekat. Delapan pasang mata melihat insiden itu dari balik kaca Honda Jazz. Ada keterkejutan di mata mereka. Tapi sayang, tak ada rasa peduli yang cukup di hati mereka untuk memberikan pertolongan pada si korban tabrak lari. Maka tanpa ragu, tak lama kemudian si pengemudi menjalankan kembali Honda Jazznya, tanpa menoleh lagi. Cari selamat sendirilah, sekarang bukan waktunya jadi malaikat penolong, Dark Angle gitu loch, bukan White Angle! Begitu seloroh hatinya.
Tanpa disadari yang lain, salah satu pasang mata yang tadi ikut menyaksikan insiden itu dari dalam Honda Jazz yang diturunkan kacanya, lekat menatap mata si lelaki muda yang terbujur kaku tanpa daya itu. Mata itu seolah berteriak minta tolong. Mata itu… mata si Cupu yang jelas-jelas lekat menatap matanya, mata Via. Ada gemuruh rasa yang mengaduk-aduk hati Via. Ia sempat berpikir untuk turun dan memberikan pertolongan, tapi rasa takut bercampur benci di hatinya membuat ia mengurunkan niatnya itu.
Dan setelah itu, sepasang mata itu tak pernah mampu dilupakannya. Mata itu menghantui tidurnya. Dan tiba-tiba hari ini, mata itu kembali hadir menatapnya dari depan kelas. Sepasang mata milik Zahra!
***
“aaaaaaaaaaaaaaah……..!” jerit Via setelah siuman dari pingsannya.
“Lo kenapa, sih, Vi…?” tanya Shilla bingung campur khawatir.
“Huhuhu… hiks, hiks, hik…..” Via malah nangis sesenggukan. “Harusnya…harusnya… huhuhu…!”
“Harusnya apa, Vi?!” Ify jadi panik melihat Via menangis sambil menceracau seperti itu.
“Harusnya kita nolongin Alvin waktu itu, Fy…!” Via histeris. “Kenapa kita bisa sejahat itu sama dia..? Kenapa gue bisa sebenci itu sama dia..?!”
“Via! Sadar, Vi!” Angel agak mengguncang-guncangkan bahu Via yang mengejang hebat.
“Si Via kerasukan setannya si Alvin kali, ya?!” ceplos Ify asal.
“Maksud lo?!” Angel menatap kesal pada Ify yang seenaknya bicara.
“Vi, lo nggak lagi acting jadi drama queen, kan..?” tanya Shilla polos saking bingungnya melihat sikap Via. Angel mendelik heran pada Shilla.
“Dia datang ke mimpi gue… Dia minta tolong… Alvin nggak akan ngebiarin gue tenang mulai sekarang… Dia mau bales semua perbuatan gue yang sering semena-mena sama dia… Gue.. gue.. gue takut…” bisik Via lemah, masih diiringi isak tangis.
Ify, Angel, dan Shilla menatap Via tak percaya, lalu saling melempar pandang tak mengerti. Tapi jauh di lubuk hati mereka, kata-kata Via yang menyebut nama Alvin dan kecelakaan naas itu menyentakkan rasa bersalah dalam diri mereka. Rasa bersalah yang diam-diam tumbuh subur di sudut terdalam hati para Dark Angel.
Ruang UKS itu kini hening. Hanya isak tangis Via yang terdengar. Selebihnya bisu.
***
Ify sedang mengemudikan Honda Jazznya, Di samping jok kemudi ada Via yang masih tampak sayu. Di jok belakang ada Angel dan Shilla yang sesekali mengobrol. Seperti biasanya, tape mobil selalu dinyalakan oleh Ify untuk menemaninya menyetir. Penyiar radio sedang mengudara.
“Hi, muda-mudi kota Tangerang dan.. sekitarnya… Apakah aktivitas kalian sore ini? Mungkin ada yang baru balik sekolah, kuliah, atau malah balik kerja? Yah, apapun itu aktivitas kalian saat ini, gue harap kalian menikmati siaran kita sore ini.
“Ok, untuk obrolan kita sore ini, gue pengen kita ngebahas soal… penyesalan apa, sih, yang paling bercokol di hati lo saat ini, guys? Yuk, share sama gue di sini, sob…! Kita tunggu partisipasinya di line telepon ya…!”
Terdengar suara dering telepon dari radio yang sedang on air itu.
“Wah, udah ada yang masuk aja..nih. Yowis, kita angkat…! Hallow…”
“Hallo, kak Iyel… Aku…mau sharing tentang penyesalan terbesarku saat ini.”
“Silahkan, say… Oia, kasih tau dulu dong nama kamu…”
“Hm… namaku… Zahra.”
Keempat gadis berseragam SMU itu langsung menoleh ke arah tape mobil yang tengah mereka naiki, seolah-olah mereka bisa melihat wajah si penelepon bernama Zahra itu di sana. Mereka ingin memastikan apakah itu Zahra teman sekelas mereka.
“Ok, seperti biasa, Zahra, silahkan bercerita dan gue di sini nggak akan menginterupsi elo dengan pertanyaan-pertanyaan sebelum elo selesai cerita. So, silahkan, girl!”
“Aku menyesal… selama aku sekolah di SMU, aku belum pernah memperlihatkan keakrabanku dengan Alvin.” Dark Angle kembali dikagetkan oleh si penelepon bernama Zahra itu. Kenapa harus nama Alvin yang disebut-sebut?
“Padahal kami satu sekolah. Sebenarnya, aku nggak punya masalah sama Alvin, tapi Alvin yang minta aku untuk nggak terlihat akrab dengannya saat di sekolah. Dia takut…aku malu sama temen-temen sekolah kalo terlihat deket sama dia. Padahal aku sama sekali nggak merasa malu. Entah kenapa Alvin bisa berpikir seperti itu.
“Mungkin, karena faktanya aku sekelas sama empat orang cewek yang namain diri mereka Dark Angle.”
Via, Ify, Angel, dan Shilla tambah heran. Wah, apa yang akan diceritakan si Zahra, sih, sebenernya? Para Dark Angle itu bertanya-tanya dalam hati.
“Entah karena alasan apa, Dark Angle sangat membenci Alvin. Gak segan-segan mereka menunjukkan kebencian mereka sama Alvin. Padahal… padahal, Alvin punya rasa sayang yang besar banget sama salah satu dari mereka, namanya Via.”
Via kaget bukan kepalang namanya disebut. Ify, Angel, dan Shilla serentak melirik ke arah Via yang tampak diam terpaku dengan wajah pias. Via was-was, sadar mimpi buruknya belum juga berakhir untuk hari ini.
“Buku hariannya penuh catatan tentang perasaannya pada Via. Perasaan yang nggak pernah punya kesempatan untuk diungkapkan. Karena…, karena Alvin udah meninggal dua minggu yang lalu…” Isak tangis Zahra pecah. Beberapa saat hanya ada hening yang ditingkahi isak tangis Zahra dan iringan lagu instrumental sendu yang sengaja dijadikan backsound oleh si penyiar.
“Maka itu… sebelum aku dan Mama pindah keluar kota, rencananya malam ini kami akan berangkat, aku menyempatkan diri untuk tetap masuk sekolah. Aku memberanikan diri untuk membaca puisi di depan kelas. Salah satu puisi Alvin yang aku salin dari buku hariannya. Judulnya, Merindu Malam. Bagi Alvin, dia adalah siang yang merindukan malam. Vialah malamnya.”
Via menutup mulutnya dengan tangan kanannya, sementara tangan kirinya mencekal bagian seragam atasannya yang dekat dengan dada. Seolah ada nyeri yang terasa di sana, dan Via mencoba menahan sakitnya.
“Rasa cinta Alvin pada Via adalah surat cinta yang tak pernah sampai. Maka semampuku, aku ingin membantunya menyampaikan surat cintanya itu. Aku…, aku terlalu membenci Via dan ketiga teman genknya itu untuk mampu menyampaikannya secara langsung, Kak… Aku nggak sanggup…” Zahra menagis tanpa ragu. Sementara para Dark Angel tergugu dalam bisu yang sama sekali tak menyenangkan.
Honda Jazz Ify masih melaju meski dengan kecepatan minimum.
“Zahra…? Kamu…sudah selesai?” tanya Iyel, si penyiar.
“Maaf, kak Iyel, sudah… begitu saja kisah yang ingin kubagi sebelum meninggalkan kota ini. Kota di mana Alvin, saudara kembarku itu… telah meninggal dua minggu yang lalu. Tanpa sempat aku menunjukkan pada semua teman-teman sekolahku, terutama pada Dark Angle, kalau aku tidak malu punya saudara kembar seperti Alvin. Meski gagap dan autis, dia mampu menyamai orang-orang yang mengira diri mereka sangat normal. Alvin bersekolah dengan sangat baik meski dengan keterbatasannya.
“Dia lelaki terakhir yang pergi dari kelurga kami setelah meninggalnya Papa dua tahun yang lalu. Aku sayang kamu, Vin… Aku dan Mama sangat sayang kamu…” Sambungan telepon terputus setelah Zahra tak mampu lagi menguasai ritme suaranya yang lebur oleh tangis.
Empat gadis di dalam Honda Jazz itu terperangah. Zahra saudara kembar Alvin?! Bagaimana mungkin? Mereka sama sekali tidak mirip. Tapi Via akhirnya mengerti, kenapa mata Zahra mengingatkannya pada mimpi buruknya, pada Alvin. Ya, mereka punya mata yang sama. Ify, Angel, dan Shilla diam-diam menangis, ada sesal di rongga dada mereka.
Dan Via, jangan tanya seberapa deras air matanya. Via tak lagi mampu melihat dengan jelas, sebab air mata menyelimuti matanya. Jauh di lubuh hatinya, rasa nyeri kian menjadi-jadi. Paru-parunya terasa menyempit, dadanya sesak sekali.
“Malam…” Lagi-lagi bisikan itu mampir di telinganya. Via sadar, nyeri ini akan bercokol lama di hatinya. Ia harus menebus ribuan sepi karena pahitnya rindu yang pernah dirasakan siang untuk malam.
***
cerpen kls 8 ni bkan rin
BalasHapusyo tan.. :DD
BalasHapus